
Bapak bilang, makhluk yang bersayap namanya burung. Ia bilang saat umurku dua tahun, dan aku mulai akrab dengan burung. Burung bisa terbang, sebab ia bersayap. Bapak banyak melihara burung. Burung-burung itu dimasukkan ke sangkar. Suaranya beraneka macam. Aku gemar melihatnya jika pagi tiba, selepas ibu memandikan dan mengenakanku pakaian yang harum. Aku biasanya akan mengangkat tangan, menggerak-gerakkan telunjuk dan ibu jari, seakan memanggil burung-burung itu. Aku bisa senyum sendiri, aku juga kadang menangis jika ibu memintaku untuk bermain dan meninggalkan burung-burung bapak yang banyak digantung di teras belakang.
“Biarkan saja Minah. Ia sedang menikmati burung-burung,” Bapak biasanya bicara jika kebetulan melihat Ibu memaksaku untuk pergi bermain. Tapi ibu tetap memaksa, seakan ia tak ingin melihatku berlama-lama menatap burung.
Setelah dua atau tiga kali mengulang kalimat yang sama, bapak akan menggeleng-gelengkan kepala, namun ibu seperti tak peduli. Biasanya sehabis itu ibu akan menggerutu. “Burung-burung terus. Tiap hari Bapakmu hanya ngurus burung. Kerja gak pernah,” Ibu biasanya akan membanting pintu lebih keras. Aku biasanya akan berhenti menangis jika ibu sudah membanting pintu. Ia marah.
“Apakah ibu tak suka melihatku menyukai burung?” Pertanyaan itu sering muncul saat aku berumur tujuh tahun. “Jangan turuti bapakmu. Jangan jadi penikmat burung. Nanti kau akan malas bekerja. Lihat bapakmu, seharian terus-terusan sibuk ngurus burung-burungnya. Beli pakan, beli sangkar, selalu ada uangnya. Giliran beli beras buat makan, susah keluar dari kantongnya.” Saat itu ibu menangis, sepertinya pertengkaran baru saja terjadi. Waktu itu aku baru pulang sehabis bermain.
Aku berjalan ke teras belakang. Bapak sedang sibuk memperbaiki satu sangkar burungnya yang rusak. Sangkar itu sepertinya sudah jatuh. Dan bapak bilang, ibu yang membantingnya. Mereka bertengkar hebat, sebab bapak tak terima sangkarnya dibanting ibu. Itu sebabnya ibu menangis. “Ibumu selalu begini, pelampiasannya selalu sama burung-burung bapak,” Bapak bicara sembari tangannya meraut sebilah bambu untuk mengganti sangkar yang patah